Sunday, August 1, 2010

Pidato Pengukuhan Guru Besar UIN Makassar



KONTEKSTUALISASI PEMAHAMAN HADIS:
Rekonstruksi Epistemologis
Meretas Simpul Ikhtil±f dalam Fiqh al-Had³s

Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
Yang Terhormat:
Bapak Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan selaku Ketua Dewan Penyantun dan para Anggota Dewan Penyantun UIN Alauddin;
Bapak Rektor UIN Alauddin selaku Ketua Senat beserta seluruh Anggota Senat UIN Alauddin;
Ibu Ketua dan segenap Anggota Dewan Guru Besar UIN Alauddin;
Bapak-bapak Pembantu Rektor, Dekan, Bapak/Ibu Pembantu Dekan;
Bapak Direktur Program Pascasarjana dan Asisten Direktur; Bapak-bapak Kepala Biro, Bapak/Ibu Kepala Bagian;
Bapak/Ibu Ketua Lembaga, Kepala Pusat, dan Kepala Unit;
Bapak/Ibu Ketua dan Sekretaris Jurusan, Ketua dan Sekretaris Program;
Para Dosen dan Karyawan dalam lingkungan UIN Alauddin;
Para Fungsionaris Kemahasiswaan dalam lingkungan UIN Alauddin;
Para Wisudawan/Wisudawati dan keluarga serta undangan yang saya hormati.
Seluruh Keluarga Besar UIN Alauddin yang saya cintai dan banggakan.
            Alhamdulill±h rabb al-±lamin, segala puji dan syukur  sepatutnya saya sampaikan mengawali pidato ini, karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya, saya dapat memperoleh kehormatan memangku Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hadis pada Fakultas Syariah, Hukum dan Ekonomi UIN Alauddin Makassar, sejak tahun 2004. Anugerah itu merupakan jabatan yang sangat terhormat dalam bidang akademik di lingkungan Perguruan Tinggi, tetapi sekaligus menandai bertambahnya tanggung jawab dan amanah yang saya harus emban kepada umat. Pidato pengukuhan saya hari ini merupakan rangkaian dari tradisi akademik untuk menerima jabatan tersebut.
            Selawat dan salam semoga tercurah kepada Rasulullah saw., Nabi dan Rasul terakhir, sosok hamba yang paling paripurna pemahaman dan pengamalan agamanya dan menjadi uswah dalam melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan di bumi ini. Melalui sunnah dan atau hadisnya, umat Islam dipandu menjalankan tugasnya sebagai khalifah Allah dan memakmurkan bumi.
            Pada kesempatan yang berbahagia ini, perkenankan saya menyampaikan pidato penerimaan dan pengukuhan Jabatan Guru Besar di hadapan Rapat Senat Terbuka Luar Biasa yang saya muliakan, dengan judul “KONTEKSTUALISASI PEMAHAMAN HADIS: Rekonstruksi Epistemologis Meretas Simpul Ikhtil±f dalam Fiqh al-Had³s).
            Hadis yang orisinalitasnya dapat dipertanggungjawabkan berasal dari Nabi, sejatinya merupakan solusi terhadap berbagai problematika kehidupan umat. Akan tetapi, alih-alih menjadi solusi, dalam kenyataannya di masyarakat, hadis malah dianggap membuka ruang perdebatan yang begitu dalam. Dengan dalih bahwa perbedaan pendapat adalah rahmat, kecenderungan itu berkembang sedemikian jauh, dan ironisnya kadang-kadang mengarah pada pertikaian. Analisis terhadap fenomena itu menunjukkan bahwa kecenderungan itu disebabkan oleh konstruksi pemahaman umat terhadap hadis. Oleh karena itu, diperlukan upaya rekonstruksi, sehingga pada bagian-bagian tertentu yang pemahamannya seharusnya disepakati, tidak perlu menyisakan ruang perdebatan yang tajam.
Lebih dari itu, sebagai doktrin yang terbentuk di masa Nabi, maka hadis menjadi sumber yang tertutup, dalam pengertian, tidak dapat ditambah atau dikurangi untuk keperluan modifikasi. Padahal, kehidupan dalam segala bidang yang dijalani dan dihadapi umat pasca Nabi, terus mengalami perkembangan. Kehidupan itu tidak mungkin diputar ke belakang menjadi sama dengan kehidupan Nabi. Oleh sebab itu, dalam batas-batas tertentu, menuntut penyesuaian dengan dan dari hadis sebagai sumber otoritatif ajaran Islam. Penyesuaian itu dilakukan dengan kontekstualisasi pada wilayah pemaknaan. Tujuannya adalah menemukan substansi ajaran, orisinalitas dan solusi yang adaptif dengan problema kehidupan. Bukankah formula yang menyatakan bahwa ajaran Islam salihun likulli zaman wa makan sebenarnya menunjukkan fleksibilitas dan plastisitas ajaran, bukan ortodoksi yang ketat dan kaku. Suatu pandangan yang lebih menekankan pandangan ke depan (progresif), dan bukan ke belakang (regresif). 

A. Pendahuluan
            Jika dipetakan secara ketat, sebenarnya jauh lebih berat mengembangkan pemikiran terhadap hadis daripada al-Quran. Munculnya berbagai kitab tafsir, dari Tafsir Ibn Kasir sampai Tafsir al-Azhar karya Hamka, dari Tafsir Jalalain sampai Tafsir al-Bayani karya Bint al-Syati, dari Tafsir al-Kasysyaf sampai Tafsir Tahta Dhilal al-Quran, menjadi indikasi kuat betapa terbukanya al-Quran terhadap berbagai penafsiran dan pemikiran hasil konstruksi cendikiawan Muslim. Pemahaman yang begitu terbuka terhadap al-Quran itu tanpa dibarengi kekhawatiran dari pihak penafsir akan berkurangnya otoritas al-Quran. Para ulama dan cendikiawan merasa terpanggil dan sekaligus merasa tidak terbebani rasa bersalah jika mereka ingin mengembangkan pemikiran terhadap al-Quran sebagai sumber utama ajaran agama. Terhadap al-Quran, pemikiran yang tajam dan inovatif dapat muncul dengan bebas. Sekritis apa pun pemikiran terhadap al-Quran, umat tidak pernah takut dilabeli kaum pengingkar (ink±r) al-Quran.
            Lain halnya dengan hadis. Kebanyakan ulama lebih banyak mengendalikan diri dan mengutamakan sikap reserve (segan) untuk melakukan telaah ulang dan mengembangkan pemikiran terhadapnya. Padahal, dalam posisinya sebagai mashdar al-tasyr³ kedua setelah al-Quran, seyogianya pengembangan pemikiran terhadap hadis mendapat proporsi yang memadai pula. Adanya kekhawatiran cendikiawan Muslim akan tertuduh sebagai ink±r al-sunnah, ikut mempengaruhi perkembangan studi tentang hadis di dunia  Islam.
Tema kontekstualisasi hadis mengandaikan perlunya kajian ulang terhadap pemaknaan hadis untuk mengoptimalkan proses dinamisasi pemikiran keagamaan Islam, seperti yang dahulu mewarnai kehidupan sahabat, t±bi‘³n dan t±b³‘ al-t±bi‘³n sejak masa-masa awal Islam. Apa yang dimaksudkan rekontruksi epistemologis dalam konteks ini diharapkan menjadi alternatif dalam memandang persoalannya secara komprehensif. Tentu saja, pemikiran ini potensial akan menimbulkan kontroversi. Oleh karena itu, sejak awal saya ingin mengingatkan perlunya kedewasaan sikap. Keteladanan Nabi yang dengan arif menyikapi perbedaan sahabatnya dalam memahami pesan yang disampaikan, sejatinya diikuti. Kepada yang kontra kontekstualisasi bisa dikatakan, kamu telah memahami sunnah secara tepat. Dan kepada yang pro kontekstualisasi bisa dikatakan, kamu mendapatkan pahala. Bukankah orang yang melakukan ijtihad itu tetap mendapatkan pahala, meskipun ijtihadnya salah?
B. Latar Belakang Pentingnya Kontekstualisasi
        1.         Dilihat dari Segi Fungsi Hadis
          Para ulama sepakat bahwa hadis merupakan mashdar al-tasyri‘ yang ketentuan-ketentuan hukumnya mengenai halal haram berdiri sejajar dengan al-Quran.[1] Sebagai mashâdir al-tasyri‘ , al-Quran dan hadis merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karena ayat-ayat al-Quran umumnya bersifat umum dan global, maka hadislah yang kemudian memberi penjelasan (bayân) terhadap keumuman isi al-Quran tersebut. Fungsi hadis sebagai bayân ini, direkomendasikan dalam Q.S. al-Nahl (16): 44:
وانزلنا اليك الذكر لتبين للناس ما نزل اليهم ولعلهم يتفكرون
Dan kami turunkan kepadamu al-Quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang diturunkan kepada mereka dan supaya mereka berpikir.
            Sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayân tersebut, para ulama berbeda pendapat dalam merincinya lebih lanjut. Imâm Mâlik (92-179 H) misalnya, menyebutkan lima macam fungsi bayân, yakni: bayân al-taqrîr, bayân al-tafsîr, bayân al-tafshîl, bayân al-bats dan bayân al-tasyrî’. Imâm al-Syafi’i (w. 204 H) menyebutkan enam fungsi bayân, yakni bayân al-tafshîl, bayân al-takhshîsh, bayân al-tayîn, bayân al-tasyrî’,bayân al-naskh dan bayân al-isyârah. Ahmad ibn Hanbal (164-241 H) menyebut empat fungsi yakni, bayan al-takîd, bayân al-tafsîr, bayân al-tasyrî’, dan bayân al-takhshîsh.[2] Meskipun para ulama menggunakan istilah yang berbeda, namun pada dasarnya yang mereka maksudkan sama saja. Secara umum fungsinya adalah menguatkan, merinci, menjelaskan, membuat aturan baru, dan merevisi aturan al-Quran.
            Mempertimbangkan fungsinya yang sedemikian strategis tersebut, maka sepatutnya hadis-hadis Nabi dikontekstualkan sehingga dapat ditelusuri maqhasid yang diinginkan oleh Nabi dengan pernyataan atau tindakannya sebagaimana terekam dalam hadisnya.
    2. Dilihat dari Segi Pengklasifikasian Hadis
          Hadis diklasifikasikan dengan berbagai cara, tergantung tujuan klasifikasi dan perspektif ulama. Meskipun selama ini kriteria pembagian yang mafhum dikenal adalah kriteria materi (matn) hadis dan cara periwayatan (isnad)nya, tetapi dalam konteks ini saya ingin mengemukakan pembagian lain hadis, yakni hadis/sunnah tasyri‘iyah (legal) dan hadis/sunnah ghairu tasyri‘iyah (non-legal).
            Sunnah non-legal terutama berupa kegiatan-kegiatan keseharian Nabi (al-af‘al al-jibliyah) seperti cara makan, tidur, berpakaian dan kegiatan-kegiatan lain semacamnya yang tidak diarahkan untuk menjadi bagian syariah. Kegiatan-kegiatan seperti itu tidaklah penting bagi misi Nabi, dan karena itu bukan merupakan norma hukum. Menurut jumhur ulama, pilihan-pilihan Nabi dalam soal-soal semacam itu, seperti warna kesukaannya, atau kenyataan bahwa Nabi tidur berbaring ke sebelah kanan pada waktu permulaan dan sebagainya, menunjukkan kebolehan (ib±hah) dari perbuatan-perbuatan tersebut.[3]
          Dalam hal serupa, sunnah yang masuk dalam kategori pengetahuan yang terspesialisasi atau pengetahuan teknis, juga dianggap periferal bagi fungsi utama dakwah kenabian, dan karenanya juga bukan merupakan bagian dari syariah. Mengenai perkataan dan perbuatan Nabi yang berkaitan dengan situasi-situasi tertentu, seperti strategi perang, waktu penyerangan, pengepungan dan penarikan pasukan, juga dianggap situasional dan bukan merupakan bagian dari syariah.[4]
            Kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan Nabi bisa masuk di antara kategori sunnah legal dan sunnah non-legal, karena memiliki ciri-ciri keduanya. Misalnya, Nabi memanjangkan janggutnya pada batas tertentu dan memotong kumisnya. Jumhur ulama memandang hal itu bukan sebagai ibadah, melainkan sebagai bagian dari praktik sosial orang Arab yang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya keserupaan dengan orang-orang Yahudi dan non-Arab yang mencukuri jenggot dan memanjangkan kumisnya. Dengan kata lain, praktik-praktik semacam itu, merupakan bagian dari trend pada waktu itu dan pada dasarnya bersifat fakultatif. Demikian juga diketahui bahwa Nabi mendatangi shalat hari raya (‘id) melalui rute yang berbeda dengan saat kembalinya, dan kenyataan bahwa Nabi pernah melakukan ibadah haji dengan menunggang seekor unta. Meski menurut fuqaha Syafii kategori sunnah seperti itu diketegorikan sunat (mandub), tetapi bagi fukaha Hanafi, ia hanya dipandang sebagai kebolehan atau mubah saja.[5] Yang pasti bukan kewajiban agama.
            Sunnah legal merupakan perilaku keteladanan dari Nabi yang termasuk dalam ketentuan-ketentuan syariah. Corak sunnah ini bisa dibagi ke dalam tiga jenis, yakni sunnah yang diletakkan dalam kapasitas Nabi sebagai Rasulullah, sebagai kepala negara, dan dalam kapasitasnya sebagai hakim. Uraian lebih rinci mengenai hal tersebut dijelaskan dalam bagian berikut.
    3.  Dilihat dari Segi Otoritas yang Melekat pada Diri Nabi
Menurut petunjuk al-Quran, Nabi Muhammad selain dinyatakan sebagai Rasulullah,[6] juga dinyatakan sebagai manusia biasa.[7] Dalam sejarah, Nabi berperan dalam banyak fungsi, antara lain sebagai Rasulullah, kepala negara,[8] pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim,[9] dan manusia biasa. Dengan begitu, hadis yang merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi mengandung petunjuk yang pemahaman dan penerapannya perlu dikaitkan dengan peran Nabi tatkala hadis itu terjadi.[10]
Menurut Mahmud Syaltut, mengetahui dalam otoritas apa Nabi mengeluarkan hadisnya sangat besar manfaatnya.[11] Persoalannya, bagaimana menentukan bahwa Nabi bertindak dalam salah satu dari berbagai kapasitas yang dimilikinya tersebut. Tidaklah mudah untuk menjawab persoalan ini dengan jawaban yang meyakinkan. Ketidakpastian yang muncul dalam menjawab persoalan ini sebenarnya merupakan salah satu sebab utama terjadinya perselisihan-perselisihan yuristik (ikhtil±f) di kalangan fukaha. Demikian pula, para ulama secara keseluruhan telah berusaha memastikan arah utama atau sasaran (jihah) dari tindakan-tindakan dan perkataan-perkataan Nabi. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat tiga kapasitas yang dimiliki Nabi, yakni sebagai Rasulullah, kepala negara dan sebagai hakim.
a.      Dalam kapasitasnya sebagai Rasulullah, hadis yang disampaikan Nabi bisa berupa klasifikasi bagian-bagian al-Quran yang bersifat ambigius (mujmal) atau spesifikasi dan kualifikasi kandungan-kandungan al-Quran yang umum dan mutlak.  Apapun yang disahkan Nabi mengenai prinsip-prinsip agama dalam otoritas ini, merupakan legislasi umum (tasyri‘ amm) yang validitasnya tidak terbatas dalam lingkup waktu dan keadaan.[12]
Menurut ulama, metode  untuk mengetahui apakah hadis itu disampaikan dalam kapasitas sebagai Rasul adalah dengan membandingkannya dengan isyarat al-Quran. Semua penjelasan Nabi terhadap kandungan al-Quran memiliki nilai yang sama dengan apa yang dijelaskan. Dengan demikian, seluruh instruksi praktis Nabi yang menjelaskan dan menggambarkan tentang salat fardu misalnya, jelas disampaikan Nabi dalam posisinya sebagai Rasulullah.[13]
Metode lain untuk menentukan nilai perbuatan yang dilakukan Nabi adalah menarik analogi antara perbuatan yang tidak ditentukan nilainya dengan perbuatan atau perkataan yang diketahui nilainya. Di samping itu, acapkali materi sunnah dengan sendirinya memberi petunjuk atau indikasi tentang nilainya dan dalam kapasitas apa disampaikan oleh Nabi.
Selain itu, untuk menilai suatu perbuatan digunakan metode melihat hal sebaliknya. Jika disimpulkan bahwa perbuatan itu dilarang apabila tidak disahkan oleh Nabi, maka berarti perbuatan itu wajib. Misalnya khitan. Sifat dasarnya adalah melukai, yang berarti dilarang. Akan tetapi, karena diabsahkan oleh Nabi, berarti ia menjadi wajib.
b.      Semua ketentuan sunnah yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai imam atau kepala negara, seperti alokasi dan pembelanjaan dana publik, keputusan-keputusan tentang strategi militer dan perang, pengangkatan pejabat-pejabat negara, distribusi rampasan perang, penandatanganan perjanjian dan sebagainya, termasuk dalam kategori sunnah legal, tetapi bukan merupakan legislasi umum (tasyri‘ ‘amm). Sunnah jenis ini, tidak bisa dipraktekkan oleh individu-individu tanpa memperoleh ijin lebih dahulu dari otoritas pemerintah yang berwenang.[14] Contohnya, hadis Nabi, Barangsiapa yang membunuh seorang musuh (dalam pertempuran), maka ia berhak mengambil barang-barangnya.[15]
من قتل قتيلا فله سلبه
Oleh karena hadis itu diucapkan Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, maka seorang prajurit tidak boleh langsung mengambil barang korbannya di medan perang tanpa mengajukan otorisasi dari pemerintah.[16]
Begitu pula, hadis tentang penggarapan lahan tandus yang berbunyi, Barangsiapa menggarap lahan tandus (tanah yang tidak ada pemiliknya), maka lahan itu menjadi miliknya.[17]
من احيا ارضا ميتة فهي له
Jika disepakati bahwa Nabi mengeluarkan hadisnya itu dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, maka seseorang yang ingin menggarap lahan tandus, terlebih dahulu harus minta izin dari pemerintah. Maknanya akan menjadi lain jika dianggap hadis itu disampaikan dalam kapasitas Nabi sebagai Rasul. Sebab hal itu berarti siapa saja yang menggarap lahan tandus, maka lahan itu menjadi miliknya, tanpa harus minta izin dari pemerintah. Mempertimbangkan berbagai problem dan konsekuensi yang ditimbulkan jika dimaknai dalam masing-masing otoritas Nabi, maka qarinah yang lebih kuat menunjukkan bahwa hadis tersebut disampaikan Nabi dalam kapasitasnya sebagai kepala negara.[18]
c.       Sunnah yang berasal dari Nabi dalam kapasitasnya sebagai seorang hakim, perlu dibedakan menjadi dua, yakni: (1) bagian yang terkait dengan gugatan, pertimbangan-pertimbangan hukum, dan bukti-bukti faktual; dan (2) bagian yang terkait dengan keputusan akhir. Yang pertama bersifat situasional dan bukan merupakan ketentuan umum. Sementara, yang kedua menjadi ketentuan umum, tetapi dengan syarat bahwa hal itu tidak mengikat individu secara langsung dan tidak seorang pun berhak bertindak atas dasar itu tanpa mendapatkan putusan terlebih dahulu dari hakim yang berwenang. Oleh karena Nabi sendiri bertindak dalam kapasitas yudisialnya, maka ketentuan-ketentuan yang ditetapkannya itu harus diterapkan oleh qadi (hakim).[19] Jadi, apabila seseorang menggugat orang lain dan penggugat tahu keputusan yang diambil oleh Nabi dalam kasus serupa, maka penggugat tidak berhak memberlakukan keputusan itu untuk dirinya. Dia harus mengikuti hukum acara yang berlaku dengan membuktikan gugatannya dan memperoleh putusan yudisial.[20]
Sebagai contoh, hadis tentang Hind, istri Abu Sufyan yang mengadu kepada Nabi bahwa suaminya meskipun kaya tetapi sangat kikir dan menolak memberikan nafkah secara wajar kepadanya sebagai istri dan anak-anaknya. Nabi kemudian bersabda, Ambillah (harta suamimu) secukupnya untukmu dan untuk anakmu sesuai dengan adat yang berlaku.
خذى ما يكفيك وولد ك بالمعروف
Jika diterima bahwa hadis ini disampaikan Nabi dalam otoritasnya sebagai hakim, maka ia hanya memberikan wewenang kepada hakim untuk mengeluarkan putusan serupa. Oleh sebab itu, tidak sah bagi kreditor untuk mengambil haknya dari harta debitor tanpa adanya perintah hukum (keputusan eksekusi).
Sebaliknya, jika dipahami bahwa hadis ini dikeluarkan Nabi dalam kapasitasnya sebagai Rasul, maka hakim tidaklah diperlukan untuk memberikan hak kepada istri, atau kreditor dapat saja mengambil harta debitor yang lalai, tanpa melalui prosedur pengadilan, karena hadis itu sendiri telah memberikan otoritas yang diperlukan.[21] Sulit menjelaskan kepada umat, jika maksud hadis tersebut memang demikian, sebab akan memicu problem-problem baru.
Sepatutnya hadis tersebut dipahami merupakan putusan hukum Nabi sebagai hakim, dan semata memberi wewenang kepada hakim untuk menyidangkan pengaduan istri dan menuntut besarnya nafkah serta cara pembayarannya.[22] Jika suami menolak kewajibannya, maka hakim dapat memerintahkan agar harta suami itu dijual, sehingga istri memperoleh hak nafkahnya. Meski begitu, istri tidak berhak meminta cerai, karena ketika Nabi memerintahkan Hind untuk mengambil nafkah dari suaminya, dia tidak diberi hak meminta cerai.
            Untuk membedakan sunnah legal dan non-legal, mujtahid perlu menentukan tujuan dasar dan dalam konteks apa ketentuan itu dikeluarkan. Literatur hadis tidak selalu memberikan informasi yang jelas tentang kapasitas-kapasitas Nabi ketika bertindak dalam situasi tertentu. Akan tetapi, mujtahid dapat menemukan petunjuk-petunjuk yang dalam banyak hal dapat membantu memahami fiqh al-hadisnya.[23]
            Demikianlah, tampak betapa pentingnya memastikan dalam otoritas apa Nabi mengeluarkan hadisnya, sehingga dapat  menjadi panduan mufassir dalam membangun pemahaman hadis sesuai maqasid yang diinginkan Nabi.
    4. Dilihat dari Segi Peristiwa (Wurud) Hadis
            Menurut M. Syuhudi Ismail (w. 1995), dilihat dari latar belakang terjadinya, hadis Nabi dapat diklasifikasi dalam tiga kategori, yakni (1) hadis yang tidak mempunyai sebab khusus; (2) hadis yang mempunyai sebab khusus; dan (3) hadis yang berkaitan dengan keadaan yang sedang terjadi (berkembang).[24]
            Terhadap hadis-hadis yang memiliki sebab khusus, seyogianya pemahaman hadis yang dibangun tidak jauh dari konteks sebabnya. Misalnya, hadis tentang mandi pada hari Jumat.
            Ketika itu, ekonomi para sahabat Nabi umumnya masih dalam keadaan sulit. Hal itu ditandai dengan penggunaan baju wol yang kasar dan jarang dicuci. Banyak di antara sahabat yang berprofesi sebagai pekerja kebun. Setelah menyiram tanaman, biasanya langsung pergi ke masjid untuk menunaikan salat Jumat. Suatu ketika--dalam cuaca yang sangat panas, dengan kondisi masjid yang masih sempit--tatkala Nabi berkhutbah, aroma keringat dari orang-orang yang berbaju wol kasar dan jarang mandi itu menerpa hidung Nabi.[25] Suasana dalam masjid terganggu oleh aroma itu, lalu Nabi menegur melalui sabdanya, Apabila kamu hendak datang (menunaikan salat) Jumat, maka hendaklah (terlebih dahulu) mandi.[26]
اذا جاء احدكم الجمعة فليغتسل
Jika dikaji maksudnya, Nabi menyarankan untuk mandi Jumat sebelum ke masjid, agar bau (aroma), baik badan maupun pakaian tidak mengganggu jamaah lain. Artinya, secara kontekstual dapat dibangun pemahaman bahwa perintah Nabi itu tidak hanya berlaku pada hari Jumat, tetapi juga dalam jamaah pada hari biasa pun, jika aroma itu dikhawatirkan mengganggu. Sebaliknya, meskipun hari Jumat, tetapi aroma yang dikhawatirkan mengganggu itu dapat dihilangkan, maka kewajiban mandi menjadi tidak mutlak lagi.
5.   Dilihat dari Segi Tuntutan Penggunaan Pendekatan-pendekatan Kemodernan
            Seiring dengan berkembangnya penggunaan berbagai pendekatan dalam studi agama, maka seyogyanya pendekatan-pendekatan itu juga diterapkan dalam upaya membangun fiqh al-hadis yang kontekstual.
            Dalam hubungan ini, perlu dicatat sejak awal bahwa tidak semua hadis perlu dipahami dengan pendekatan kemodernan, sebab sebagian besarnya telah tuntas pemahamannya dengan pendekatan-pendekatan kebahasaan, asbab wurud, dan pendekatan lain yang lazim digunakan selama ini. Akan tetapi, hadis-hadis yang dapat dibangun maknanya dengan panduan pendekatan sosiologis, antropologis, sejarah, politik, dan lain-lain, sepatutnya juga dipertimbangkan. Misalnya, hadis tentang mematikan lampu tatkala hendak tidur.[27]
اطفؤا المصابيح بالليل اذا رقد تم
Dengan analisis sosiologis, dapat dibangun pemahaman bahwa kini tidak mesti lampu dimatikan ketika hendak tidur, karena secara sosiologis, model penerangan sudah modern. Kekhawatiran Nabi dengan model lama yang rentan memicu kebakaran--plus kondisi dinding rumah ketika itu yang potensial gampang kena percikan api, meski hanya diterpa hembusan angin--kini sudah dapat diminimalkan. Dengan kondisi rumah yang permanen, alat penerangan yang teruji tingkat keamanannya, maka tidak mutlak lagi setiap mau tidur lampu dimatikan seperti sabda Nabi. Kecuali untuk kepentingan penghematan seperti yang selama ini diprogramkan PLN, barangkali argumennya jadi lain.
Demikian pula halnya fiqh al-hadis yang dibangun dari hadis tentang boleh tidaknya wanita menjadi pemimpin. Hadis tersebut disampaikan Nabi untuk mengomentari berita yang sampai kepada beliau bahwa bangsa Persia yang baru saja mengalami kekalahan dalam perang melawan Bizantium, mengangkat Buwaran putri Kisra Anusyirwan sebagai Kepala Negara mereka. Nabi yang ketika itu sudah menjadi Kepala Negara di Madinah, sudah tentu mengetahui peta kekuatan masing-masing dari dua negara yang telah lama terlibat peperangan itu. Berdasarkan pengetahuan itu, beliau bisa memprediksi bahwa Persia akan dikalahkan Bizantium. Beliau sangat yakin akan kebenaran prediksinya, setelah diketahuinya bahwa yang menjadi Kisra Persia adalah seorang wanita yang tidak memiliki pengalaman tempur. Jadi sabda Nabi itu hanya ditujukan kepada bangsa Persia pada saat itu saja. Dan, kata tidak akan (lan) dalam sabdanya itu, tidak dimaksudkan untuk menyatakan nafi al-istiqbal, tetapi untuk menyatakan keyakinan akan prediksinya.
Tanpa pendekatan kemodernan, makna hadis itu akan menimbulkan bias. Akan tetapi dengan kajian historis dan antropologis, maka makna hadis itu dapat dipahami.  Bahwa hal itu dilarang karena wanita pada masa itu sama sekali tidak berwibawa. Jangankan untuk memimpin, bahkan diri wanita itu sendiri pada masanya masih dianggap sebagai materi atau benda semata. Sebagai konsekuensinya, ketika kondisi wanitanya sudah berubah, maka harusnya pemahaman terhadap hadis itu juga dikontekstualkan.
Demikian pula, hadis tentang al-aimmat min quraisy.[28] Dengan pendekatan sosiologislah, sebagai yang diperkenalkan Ibn Khadun, maka maknanya tidak menimbulkan bias.[29]
C. Akar Historis Tradisi Kontekstualisasi Hadis Nabi
Kontekstualisasi hadis sebenarnya bukanlah persoalan baru dalam sejarah Islam. Pada fase-fase awal Islam, para sahabat tidak lama setelah Nabi wafat, dengan dimotori oleh ‘Umar bin al-Khattab dan ‘Usman bin Affan (w. 35 H), telah melakukan kontekstualisasi hadis. ‘Umar misalnya, melakukan pengubahan sistem pembagian harta rampasan perang, tidak  seperti yang dipraktekkan pada masa Nabi dan Abu Bakar al-Siddiq (w. 13 H). Begitu pula ‘Usman yang menetapkan penggunaan bahasa suku Quraisy sebagai rujukan dalam membuat kodifikasi yang ditetapkan sebagai sebagai mushaf standar (mushaf al-imam). Dalam skala individu, kontekstualisasi hadis itu bahkan telah dilakukan sahabat di zaman Nabi sendiri. Buktinya, ketika mengirim dua utusan ke Bani Quraizah untuk menyelesaikan suatu urusan, Nabi berpesan agar mereka tidak melakukan salat  Asar sebelum sampai di perkampungan salah satu bani (clan) kaum Yahudi itu. Di tengah perjalanan, karena waktu Asar telah tiba, dan Bani Quraizah telah dekat, salah seorang dari utusan itu melakukan salat. Dipahaminya bahwa pesan Nabi dimaksudkan untuk mempercepat proses perjalanan saja. Sementara utusan yang satu baru melakukan salat Asar setelah sampai di tempat tujuan, sebagai yang dipesankan Nabi. 
            Pada periode formatif sejarah perumusan doktrin Islam, para imam mazhab--dalam batas-batas tertentu--juga telah melakukan kontekstualisasi pemahamaan. Imam Malik misalnya, melakukan kontekstualisasi terhadap hadis yang melarang pria melamar wanita yang sedang dalam lamaran pria lain. Menurut Malik, yang dilarang adalah melamar wanita yang cenderung telah menerima lamaran pria itu dan telah ada kesepakatan mengenai maharnya.[30]
            Kontekstualisasi hadis yang dimotori oleh dua khalifah itu tentu saja menimbulkan kontroversi. ‘Umar mendapat tantangan keras dalam musyawarah yang dilakukan berulang kali oleh sahabat-sahabat senior dan membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk meyakinkan perlunya dilakukan modifikasi sistem pembagian harta rampasan perang demi keadilan. Reaksi yang lebih keras, tampaknya justru diterima oleh ‘Usman. Untuk menetapkan hasil kodifikasinya sebagai mushaf al-imam, ‘Usman memerintahkan untuk membakar mushaf-mushaf pribadi yang dimiliki para sahabatnya. Akibatnya, ‘Usman digelari harraq mashahif, sang pembakar mushaf-mushaf al-Quran.[31]
            Lamanya waktu yang dibutuhkan ‘Umar dan gelar yang disandang ‘Usman, menunjukkan bahwa kontekstualisasi hadis yang mereka lakukan menimbulkan kontroversi yang cukup dalam. Hal itu dapat dimaklumi, karena otoritas agama dan politik ketika itu tidak hanya berada di tangan satu orang, ‘Umar atau ‘Usman, tetapi tersebar di antara sahabat-sahabat Nabi terkemuka yang lain. Berbeda dengan pada zaman Nabi, saat mana otoritas agama dan politik itu hanya di tangan satu orang, yakni Nabi. Oleh karena itu, kontekstualisasi hadis yang dalam skala individual dilakukan oleh dua orang utusan tersebut tidak menimbulkan kontroversi. Dengan otoritasnya, Nabi saw menyelesaikan masalah mereka secara bijaksana dan memuaskan. Kepada utusan yang melaksanakan salat di jalan, Nabi mengapresiasinya dengan mengatakan, Kamu mendapatkan pahala, dan kepada utusan yang melaksanakan salat di perkampungan Bani Quraizah, Nabi memuji dengan pernyataannya, Kamu telah melaksanakan sunnah dengan tepat.
Meskipun menimbulkan kontroversi, apa yang mengiringi kejadian pada masa ‘Umar dan ‘Usman itu tidak berlangsung lama, paling tidak, tidak diwarisi oleh generasi berikutnya, karena adanya kearifan keagamaan dan rekomendasi Nabi untuk menempatkan kebijakan khalifah penggantinya sebagai sunnah yang harus diikuti dan dipegang teguh.
            Lain halnya dengan kontroversi yang ditimbulkan oleh kontekstualisasi hadis yang dilakukan Imam Malik. Kontroversi antara Malik dan Abu Hanifah di satu pihak, dan dengan Imam Syafi‘i serta golongan Zahiriyah di pihak lain, sebenarnya dapat dikatakan tidak tajam, dalam arti tidak menimbulkan friksi dan sikap saling menghujat. Namun, sayangnya kontroversi itu berlangsung lama dan diwariskan dari generasi ke generasi.
D. Prinsi-Prinsip Kontekstualisasi
Dalam memahami bahasa hadis yang merupakan pengewajantahan qaul, fi‘l, dan taqrir Nabi yang telah termodifikasi dan terkodifikasi dalam berbagai kitab hadis, setidaknya tiga variabel utama saling terkait yang harus dipahami. Tiga variabel itu adalah teks, pengarang, dan pembaca.[32] Tanpa medium bahasa, mustahil mushannif atau penghimpun hadis dan teks-teks hadisnya mampu bersentuhan dengan dunia pembaca, yakni para pengkaji hadis.
Logika bahasa Arab yang digunakan hadis, harus dilihat terlebih dahulu kompleksitasnya. Komunikasi bahasa merupakan peristiwa antar manusia yang tidak hanya sekadar mencerminkan peristiwa adanya pendengar dan pembicara, tetapi juga di dalamnya melibatkan berbagai variabel yang kompleks dan apabila diceritakan kembali melalui tulisan, maka sangat mungkin akan mengalami distorsi. Dalam hadis misalnya, komunikasi bahasanya melibatkan berbagai variabel. Misalnya, bagaimana situasi psikologis pembicara (Nabi) dan pendengar (sahabat), bagaimana hubungan antar mereka, apakah dialog berlangsung dalam forum umum atau terbatas, dan sekian variabel lainnya.
Dengan demikian, cara yang paling mudah untuk memahami hadis Nabi, adalah dengan merujuk pada karakter bahasa Arab itu sendiri. Akan tetapi, dalam membangun fiqh al-hadis, bukan hanya gramatika bahasa yang harus ditekankan. Pendekatan kontekstual-historis juga harus dikedepankan. Dengan pendekatan ini, dapat diketahui latar belakang sosial budaya di mana dan dalam situasi apa sebuah teks itu muncul. Memang ada kendala besar untuk memperoleh data historis secara memadai terhadap sebuah wacana yang terlembagakan dalam teks. Itulah sebabnya interpretasi tidak bisa sepenuhnya menghindar dari unsur tebakan, apropriasi, dan rekonstruksi imajinatif mengenai gagasan yang hendak dipahami dan diungkapkan sebuah teks. Terlebih bagi teks keagamaan, seperti hadis, yang jangkauan validitasnya diyakini bersifat universal, melewati batas ruang dan waktu, sementara peristiwanya sendiri merupakan wacana yang bersifat lokal historis.
Di samping gramatika dan pendekatan kontekstual historis, penafsiran falsafi juga harus turut dipertimbangkan. Penafsiran falsafi memang cenderung membangun preposisi universal berdasarkan logika. Karena peran logika deduktif begitu kuat, metode ini kurang memperhatikan aspek historis teks. Sisi negatif dari pendekatan ini adalah, teks cenderung tercabut dari dinamika wacana aslinya yang menyimpan keunikan dan kekayaan nuansa yang membuka sekian banyak penafsiran, serta memungkinkan pembaca atau penafsir terlibat dalam ruang wacana imajinatif para pelakunya. Sedangkan sisi positifnya adalah, kemampuan membangun abstraksi dan preposisi butir-butir kebenaran yang diangkat dari teks suci untuk dikomunikasikan lebih luas lagi kepada masyarakat dunia tanpa hambatan budaya dan bahasa.[33]
            Dengan demikian, diharapkan upaya memahami hadis menjadi lebih komprehensif dan kontekstual. Akan tetapi, pada bagian akhir dari tulisan ini, tetap perlu ditegaskan bahwa seserius apa pun kehendak umat untuk melakukan kontekstualisasi, tetap harus memperhatikan beberapa prinsip metodologi berikut. Pertama, prinsip ideologi. Harus diakui bahwa sebagai bangunan agama, Islam telah menjadi bangunan sempurna pada masa Nabi. Kesempurnaan itu tidak terletak pada kemampuannya menampung semua perkembangan sejarah yang terjadi sejak zaman Nabi sampai hari kiamat di ruang-ruang yang telah tertata secara rinci, tetapi justru kemampuannya dalam menampung semua perkembangan itu dalam kerangka bangunan yang luas dan tertata apik. Kerangka bangunan Islam itu pun bukanlah kerangka bangunan ilmu dan sejarah untuk membangun peradaban, melainkan merupakan kerangka moral untuk membangun kehidupan. Hadis sebagai bagian dari bangunan itu, ada, bukan untuk menutupi sejarah, melainkan untuk membuka sejarah kehidupan manusia yang bermakna dan tidak kosong. Untuk membuka sejarah itu, Nabi telah mengamanatkan kepada para pembaharu yang dikatakannya akan muncul dalam setiap seratus tahun. Dengan demikian, kontekstualisasi hadis mempersyaratkan penerimaan ideologi Islam sebagai sistem doktrin yang terbuka.
            Kedua, prinsip otoritas. Hadis Nabi sebelum dibukukan, mengalami fase pasca sejarah yang amat panjang. Dalam fase itu, hadis beredar dalam tradisi lisan dengan segala konsekuensinya, termasuk upaya untuk memodifikasi dan memalsukannya. Untuk menemukan hadis-hadis yang otentik, para ulama telah menggunakan jaring pengaman berupa sanad dengan persyaratan-persyaratan yang ketat, secara formal dan material. Dengan jaring itu, mereka mampu menjaring beberapa ribu hadis yang otentik, dari ratusan ribu hadis yang pernah beredar dalam tradisi lisan. Hadis yang dinilai sahih oleh mereka, seyogianya diterima. Namun pemaknaannya tidak harus sesuai dengan makna lahirnya. Hal itu karena, hadis seringkali dikemukakan Nabi dalam situasi yang khusus, sehingga maksudnya menjadi tidak seperti yang dimaksudkan makna harfiahnya. Misalnya, hadis Nabi yang menyatakan bahwa, “Akal dan agama perempuan itu kurang (jika dibandingkan dengan akal dan agama laki-laki)”.
            Ketiga, prinsip klasifikasi. Di dalam al-Quran disebutkan bahwa, Nabi Muhammad saw. adalah manusia seperti halnya manusia-manusia yang lain yang diberi wahyu oleh Allah.[34] Ini berarti, Nabi itu hanya memiliki satu hakikat, yakni hakikat sebagai manusia. Dalam sebuah hadis dinyatakan, hakikatnya sebagai manusia itu tidak ditutup-tutupi. Dalam hadis itu disebutkan bahwa Nabi telah salah menegur seorang petani Madinah yang disaksikannya sedang mengawinkan buah kurma dan beliau sendiri mengakui kesalahannya. Mengingat, hadis merupakan segala sesuatu yang disandarkan kepada beliau, sudah barang tentu ada yang berasal dari Muhammad sebagai manusia. Para ulama telah menyadari kenyataan tersebut. Oleh sebab itu, al-Jurjani misalnya, membagi sunnah menjadi dua, yakni sunnah al-huda dan sunnah al-zawaid. Penyusun al-Tarifat itu menyatakan bahwa kedua sunnah tersebut memiliki pengertian yang sama, yakni sesuatu yang dilaksanakan Nabi secara teratur dan hanya kadang-kadang saja ditinggalkannya. Perbedaannya, yang pertama dilaksanakan Nabi sebagai ibadah dan yang kedua beliau laksanakan sebagai kebiasaan. Beberapa contoh sunnah yang disebutkan kedua adalah cara-cara Nabi berdiri, duduk, makan dan minum. Al-Jurjani mengatakan bahwa mengikuti sunnah awaid itu baik bagi orang Islam, namun meninggalkannya tidak menjadi makruh dan tidak merupakan suu al-adab (tidak sopan) kepada Nabi. Sementara itu, Syah Wali Allah al-Dahlawi, membagi hadis menjadi dua bagian, yakni hadis yang disampaikan Nabi sebagai bagian dari penyampaian risalah dan hadis yang disampaikannya tidak sebagai bagian dari risalah. Hadis jenis kedua ini, menurut ulama pembaharu pra-modern dari India itu, bisa saja disampaikan atau dilakukan Nabi sebagai kebiasaan atau kebetulan, dan bisa pula sebagai pernyataan beliau mengenai sesuatu yang secara khusus baik untuk dilakukan pada masanya, dan tidak dimaksudkan untuk berlaku bagi seluruh umat. Oleh karena itu, hadis yang telah diterima kesahihannya perlu diklasifikasikan menurut dua kategori ini dan bila terbukti bahwa hadis itu termasuk kategori yang kedua, maka pengamalannya bisa ditinggalkan.
            Keempat, prediksi regulasi terbatas. Hadis Nabi sebagaimana al-Quran, tentu memiliki latar belakang bagi kemunculannya. Para ulama juga telah menyadari hal itu ketika mereka mengembangkan salah satu cabang dari  ‘Ulum al-Hadis yang disebut Ilm Asbab Wurud al-Hadis. Dari literatur yang menghimpun latar belakang hadis itu, dibantu dengan literatur mengenai sejarah hidup Nabi, dapat diketahui bahwa Nabi pada umumnya tidak memaksudkan hadis-hadis yang disandarkan kepadanya sebagai proposisi-proposisi umum. Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian terhadap situasi historis atau khusus yang menjadi latar belakang kemunculan hadis-hadis tertentu yang telah diterima kesahihannya. Kajian itu diperlukan untuk menentukan batasan dan jangkauan dari regulasi atau isi hadis dimaksud, sehingga generalisasi yang tidak akurat bisa dihindarkan.
E. Kesimpulan  
          Sebagai mashdar al-tasyri, kontekstualisasi pemahaman sebagai upaya rekonstruksi pemikiran terhadap hadis harus dilakukan. Bukan hanya dimaksudkan sebagai upaya menjadikan hadis tetap aktual sebagai solusi problematika kehidupan umat, melainkan juga pada sisi lain, diharapkan dapat meminimalisir jurang perdebatan pada wilayah pemaknaan yang fenomenanya juga tidak kurang merisaukan umat.
            Sebagai tawaran awal, rekonstruksi pemahaman itu dapat dilakukan pada wilayah fungsionalisasi hadis. Dengan kesadaran bahwa hadis adalah sumber otoritatif yang disampaikan Nabi untuk menjadi jawaban, maka sejatinya kecenderungan perbedaan yuristik dapat dinegosiasikan. Dengan mempertegas klasifikasi hadis, melakukan kajian tuntas tentang otoritas Nabi ketika menyampaikan hadisnya, memahami hadis sesuai asbab wurud-nya, membuka diri dalam pengunaan pendekatan-pendekatan kemodernan dalam kajian hadis, kesemuanya diharapkan dapat mendorong ke arah rekonstruksi pemahaman yang kontekstual.
Dalam melakukan kontekstualisasi itu, diperlukan pencarian qarinah-qarinah atau indikasi-indikasi yang relevan. Untuk menetapkan qarinah, diperlukan kegiatan ijtihad. Pada wilayah inilah, perlu dicatat bahwa kontekstulaisasi hadis dengan prinsip dan metode apa pun potensial akan menimbulkan kontroversi. Akan tetapi, sepanjang dilakukan secara bertanggungjawab dan dengan mempertimbangkan prinsip-prinsip sebagai dikemukakan sebelumnya, upaya kontekstualisasi itu sepatutnya diprioritaskan dalam pengembangan pemikiran hadis. Dan, bukankah sahabat-sahabat Nabi sendiri telah secara sadar melakukannya.
Wall±hu a‘lam bi al-¡aw±b.   




Syukur dan Terima kasih
          Segala puji dan syukur saya persembahkan kepada Allah swt. dan selawat kepada Nabi Muhammad saw. karena pada hari ini, saya dapat menerima Pengukuhan Guru Besar di UIN Alauddin. Semua ini tentu tidak terlepas dari bimbingan, doa, dan bantuan dari berbagai pihak. 
          Tanpa mengurangi rasa hormat dan penghargaan saya kepada yang lain, perkenankan saya menyebutkan pertama-tama, sembah sujud dan terima kasih yang sedalam-dalamnya saya haturkan kepada kedua orang tua, almarhum, Ayahanda H.M. Amin Said dan almarhumah, Ibunda Hj. St. Ramlah. Dengan penuh dedikasi, keduanya telah mewariskan semangat, kesungguhan belajar, nasehat, dan doa yang menjadi bekal anaknya dalam meniti karir akademik hingga ke jenjang tertinggi seperti sekarang. Andai keduanya sempat menyaksikan anaknya berdiri di forum kehormatan ini, pastilah  merasa bangga dan terharu karena jerih payahnya selama ini dalam mengasuh dan mendidik, dirasakannya bukan kesia-siaan belaka.
            Penghargaan yang tinggi saya juga perlu sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. K. H. Said Agil Husin al-Munawwar, MA. Dalam posisinya sebagai Direktur Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan kemudian menjadi Menteri Agama RI, beliau banyak memberikan dorongan, bimbingan dan kepercayaan, sehingga masa-masa studi di Jakarta menjadi terasa nyaman. Penghargaan yang sama disampaikan kepada Prof. Dr. K. H. Ali Yafie. Begitu betahnya tinggal di Jakarta, sehingga saya harus menunggu ditegur oleh Dr. Muharram Marzuki, ketika itu sebagai Kasubdit Ketenagaan Depag. RI, agar segera pulang bertugas di UIN Alauddin Makassar. Teguran itu saya rasakan sebagai blessing in disguise yang mempercepat perolehan gelar kehormatan ini pada tahun 2004, dalam usia 41 tahun, termuda saat itu.
Kepada segenap Guru Besar dan Bapak/Ibu Dosen yang telah berkontribusi langsung dalam proses pematangan akademik saya, sepatutnya saya sebut dalam kesempatan ini. Beberapa di antaranya adalah Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, MA., Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Harun Nasution, MA. (almarhum),  Prof. Dr. Huzaimah T. Yanggo, MA., Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA.,  Prof. Dr. H. Din Syamsuddin, MA., Prof. Dr. H. A. Wahib Muthi, MA., Prof. Dr. K.H. Said Agil Siraj, MA., Prof. Dr. H. Nasaruddin Umar, MA., Prof. Dr. H. Ahmad Thib Raya, MA., dan Prof. Dr. Hj. Musda Mulia, MA., APU., Prof. Dr. H. Minhajuddin, MA., Prof. Dr. H. Ahmad M. Sewang, MA., Prof. Dr. H. Moh. Qasim Mathar, MA., Drs. H. Abbas Padil, MM., dan Dra. Hj. Nur Huda Noer, MA. 
Terima kasih yang sama, disampaikan kepada guru-guru yang telah mendidik saya di Madrasah Darul Dakwah wal-Irsyad (DDI) Pulau Kecil dan Pulau Kijang, Riau, terutama K. H. Husain Hap (almarhum) dan K. H. Abdul Gaffar, kini menjadi Imam Masjid UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Demikian pula, di Mahad Dirasah al-Islamiyah wal-Arabiyah (MDIA) Taqwa Pusat Makassar, terutama Anre Gurutta K. H. Muhammad Nur.  Di Madrasah-madrasah inilah, untuk pertama kalinya kecintaan menekuni studi Hadis, disemaikan oleh guru-guru saya puluhan tahun yang lalu.
            Ucapan terima kasih dan penghargaan, tidak lupa saya sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim, Rektor IAIN Alauddin Makassar (1998-2002) dan Bapak Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail (almarhum). Keduanya telah mendorong dan terus memotivasi apa yang disemaikan oleh guru-guru saya pada tingkat dasar untuk mencintai Al-Quran dan Hadis, menjadi berbuah lebih cepat dari yang semestinya.
            Kepada Bapak Prof. Dr. H. Azhar Arsyad, MA., Rektor dan selaku Ketua Senat UIN Alauddin, saya menghaturkan terima kasih setinggi-tingginya atas perkenannya memberikan kesempatan menyampaikan Pidato Pengukuhan pada Sidang Senat yang terhormat ini. 
Begitu pula, kepada Bapak Prof. Dr. H. A. Qadir Gassing, HT., MS. dan Bapak Prof. Dr. H. Baso Midong, MA., masing-masing adalah Dekan Fakultas Syariah yang menjabat pada saat saya harus melanjutkan studi di Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kearifannya yang telah membebaskan saya dari tugas-tugas akademik, tentulah merupakan bantuan yang nilainya juga tidak sedikit. Ucapan yang sama, disampaikan kepada Bapak Drs. H. Lomba Sultan, MA. dan Bapak Prof. Dr. H. Ambo Asse, MA. adalah dua Dekan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah mengizinkan saya berhijrah untuk menjabat sebagai Rektor di IAIN Sultan Amai Gorontalo. 
Terima kasih dan penghargaan yang tulus juga disampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Fadel Muhmmad (Menteri Kelautan dan Perikanan RI, mantan Gubernur Gorontalo), Dr. Ir. H. Gusnar Ismail, MM. (Gubernur Gorontalo), Drs. H. Idris Rahim, MM. (Sekretaris Daerah Provinsi Gorontalo), Drs. H. M. Salim Aldjufri, M.Sos.I. (Kakanwil Kementerian Agama Provinsi Gorontalo) Drs. Moch. Fahri Yasin, M.Pd., Drs. H. Djaelani Haluty, M.Pd.I., Drs. H. Kasim Yahiji, M.Ag. (para Pembantu Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo), Drs. H. Buhari Luneto, M.Pd., Drs. Lahaji, M.Ag., Dr. Adnan, M.Ag. (para Dekan), Drs. H. Syahrir Muke (Kepala Biro AUAK), Drs. Yusuf Mopangga, M.Pd., Dr. Lukman Arsyad, M.Pd., Drs. Syarifuddin Katili, M.H.I., dan Dra. Hj. Rahmawati Caco, M.Ag., atas bantuan, bimbingan dan kerjasamanya dalam membangun IAIN Sultan Amai Gorontalo.     
            Secara khusus saya ingin menyampaikan rasa hormat dan penghargaan saya kepada Ibu Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Bapak Drs. H. M. Amir Said. Bagi saya, beliau bukan sekadar guru sekaligus pimpinan, melainkan juga sebagai mertua sekaligus orang tua tempat berkeluh kesah menyangkut masalah-masalah akademik dan karir yang saya hadapi.
Kepada istri tercinta, Dra. Muliati dan putra-putri tersayang, Mahmudah, Mustainah, A.M. Agil dan A.M. Azra, serta mertua terhormat, Kalsum, rasanya terima kasih saja tidak cukup mewakili penghargaan saya kepada mereka atas ketabahan, kesabaran dan dukungannya terhadap Abba untuk terus meniti karir intelektual setinggi-tingginya.
            Kepada semua pihak, yang karena keterbatasan ruang tidak sempat saya sebutkan namanya, diucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya.
Akhirnya, kepada Allah swt. jualah saya serahkan segalanya diiringi doa, semoga segala amal baik Bapak/Ibu mendapat pahala yang berlipat ganda di sisi-Nya dan semoga limpahan rahmat-Nya meliputi semua orang yang mengikuti prosesi Pengukuhan pada hari ini. Amin ya rabb al-‘alamin.
Assalamu ‘Alaikum Wr. Wb.
















BIBLIOGRAFI

Al-Qur’±n al-Kar³m.
Ab­ Rayy±h, Mahm­d. Adw±‘ ‘al± al-Sunnah al-Muhammadiyyah  aw  ¬if±’ ‘an al-¦ad³£. Mesir: D±r al-Ma‘±rif, t.th.
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad bin. I‘lam al-Muhaddisin. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1962.
Ab­  Zahrah, Muhammad. U¡­l al-Fiqh. Kairo: D±r al-Fikr al-‘Arabi, 1985.
Ab­ Zahw, Muhammad Muhammad. Al-¦ad³£ wa al-Mu¥addi£­n.  Beirut: D±r al-Kit±b al-‘Arabiy, 1404 H./ 1984 M.
Amin, Muhammadiyah. Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual. Makasar: Melania Pess, 1425/2004.
Al-‘Asqal±ni, Syih±b al-D³n Ahmad bin ‘Ali bin Hajar.  Fat¥ al-B±riy  bi Syar¥ ¢a¥³¥ al-Bukh±riy. Beirut: D±r al-Fikr,       1414 H./1993 M.
Badran, Ab­ al-‘Ainain Badran. Usul al-Fiqh al-Islami. Iskandariyah: Syabab al-Jami’ah, t.th.
Al-Bukh±ri, Ab­ ‘Abd  Allah  Muhammad  bin  Ism±‘³l bin  Ibr±him. Al-Jami’ al-Sahih (¢a¥³¥   al-Bukh±riy).  Beirut: D±r al-Fikr, 1414 H./1994 M.
Al-Dahlawi, Syah Waliy Allah  bin ‘Abd al-Rahm±n.  ¦ujat  Allah al-B±ligah. Beirut: D±r al-Ma’rifah, t.th.
Al-D±rimi, Ab­ Muhammad ‘Abd Allah   bin  ‘Abd  al-Rahman  bin  al-Fa«l bin ‘Abd al-¢amad. Sunan  al-D±rimiy. Beirut: D±r al-Fikr, t.th.
Al-Dain­ri, Ibn Qutaibah. Ta’w³l Mukhtalif al-¦ad³£. Kairo: Ma¯ba'at ¦is±n, 1420 H./1982 M.                        
Al-Gazali, Abu Hamid Muhammad. Al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Usul. Mesir: al-Maktabah al-Jadidah, 1971.
Hamadah, ‘Abbas Mutawalli. Al-Sunnah al-Nabawiyyah wa Makanatuha fi al-Tasyri’. Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1965.
Al-Harawi,  Ab­  Fayd Muhammad bin ‘Ali. Jaw±hir al-U¡­l f³  ‘Ilm al-¦ad³£ al-Ras­l. Al-Madinah al-Munawwarah: Maktabat al-’Ilmiyah, 1373 H.
Hasballah, ‘Ali. Usul al-Tasyri’ al-Islami. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1976.
Hidayat, Komaruddin. Memahami Bahasa Agama. Jakarta: Paramadina, 1996.
Hitty, Philip K. History of The Arabs. London: The Macmillan Press Ltd., 1974.
Ibn Anas, Ab­ ‘Abd Allah Malik. Al-Muwa¯¯a’. Beirut:  D±r al-Fikr, 1409 H./1989 M.
Ibn ¦anbal, Ab­ ‘Abd Allah Ahmad.  Musnad  Ahmad bin ¦anbal.  Beirut: al-Maktab al-Isl±mi, 1398 H./ 1978 M.
Ibn Ka£³r, ‘Imad al-D³n  Ab³ Fi«±’ Ism±‘³l bin ‘Umar al-Qurasyi al-Dimasyqi. Tafs³r al-Qur‘±n al-‘A§³m. Beirut: D±r al-Fikr, t.th.
Ibn M±jah, Ab­ ‘Abd Allah Muhammad bin Yazid  al-Qazwini.  Sunan Ibn M±jah. Beirut: D±r al-Fikr, t.th.
Ibn al-¢al±h, Ab­ ‘Amr ‘U£man bin ‘Abd  al-Rahm±n al-Syahraz­ri. ‘Ul­m al-¦ad³£. Al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabat  al-‘Ilmiyah, 1972 M.
Ismail, M. Syuhudi.. Hadis Nabi Yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
‘Itr, N­r al-D³n. Manhaj al-Naqd  f³ ‘Ul­m  al-¦ad³£.  Damaskus:  D±r al-Fikr, 1399 H./1979 M.
Al-Kandahlawi, Muhammad Zakariya.  Auj±z  al-Mas±l³k il±  Muwa¯¯a’ M±lik. Beirut: D±r al-Fikr, 1394 H./1974 M.
Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. ‘Ilm U¡­l al-Fiqh.  Mesir: al-Da’wah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1968.
Al-Khudari  Bik,  Muhammad. T±r³kh  Tasyr³‘ al-Isl±miy.  Mesir: al-Maktabat al-Tij±riyat al-Kubr±, 1385 H./1965 M.
_______.  U¡­l al-Fiqh. Beirut: D±r al-Fikr, 1409 H./1988 M.
Mahm­d, ‘Abd al-Halim.  Al-Sunnat   f³   Mak±natih±  wa  f³  T±r³khih±. Kairo: D±r al-K±tib al-’Arabiy, 1967 M.
Al-Mar±gi, Ahmad Mu¡¯af±. Tafs³r al-Mar±giy. Beirut: D±r al-Fikr, t.th.
Al-Nas±'i, Ab­ ‘Abd al-Rahman bin Syu‘ayb. Sunan al-Nas±’iy al-Mujtab±. Mesir: Mu¡¯afa  al-B±biy  al-Halabiy wa Aul±duh, 1381 H./1964 M.
Al-Naisab­ri, Ab­ al-Husain Muslim bin al-Hajj±j al-Qusyayri. Al-Jami’ al-Sahih (¢a¥³¥ Muslim).  T.t.: ‘Isa al-Babi al-Halabi wa Syurakah, 1955.
Al-Qur¯ubi, Ab­ ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad al-An¡±ri. Al-J±mi‘ li  A¥k±m al-Qur’±n. Mesir: D±r al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1413 H./1993 M.               
Al-R±zi, Zayn al-D³n Muhammad bin  Ab³ Bakr  bin ‘Abd  al-Qadir.   Mukht±r al-¢i¥±¥. al-Madinah al-Munawwarah: Maktabat Tib±t, 1407 H./1987 M.
Al-Sabb±g, Muhammad. Al-¦ad³£ al-Nabawi. T.t.: al-Maktab al-Isl±miy, 1392 H./1972 M.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah.  Beirut: D±r al-Kit±b  al-‘Arabiy, 1392 H./1973 M.
Al-¢±lih, ¢ubhi. ‘Ul­m al-¦ad³£  wa  Mu¡¯aluhuhu.   Beirut: D±r al-‘Ilm  li al-Mal±y³n, 1977 M.
Shihab, M. Quraish. Wawasan Al-Quran: Tafsir Maudhu‘i atas Pelbagai Persoalan Umat.  Cet. III; Bandung: Mizan, 1416H./1996 M.
Al-Sib±‘i, Mu¡¯af±. Al-Sunnat  wa Mak±natuh± f³ al-Tasyr³‘ al-Isl±mi. T.t.: Dar al-Qaumiyah li al-Tiba’ah wa al-Nasyr, 1949.
Al-Sijist±ni, Ab­ D±wud Sulaym±n bin al-Asy‘a£. Sunan Ab³ D±wud.  Beirut: D±r al-Fikr, t.th.         
Subh±ni, Syekh Ja‘far. Al-Bada’ fi Daw‘ al-Kit±b wa al-Sunnat. Teheran: Wofis, 1406 H./1986 M.
Al-Suy­¯i, Jal±l al-D³n ‘Abd al-Rahm±n bin Ab³ Bakr. Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam’ fi Asbab al-Hadis. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1984.
Al-Sy±fi‘i, Ab­  ‘Abd Allah  Muhammad bin Idris.  Al-Umm.   Beirut: D±r al-Fikr, 1400 H./1980 M.
Syalt­t  Mahm­d. Al-Isl±m ‘Aq³dah wa Syari’ah.  Kairo: D±r al-Qalam, 1966.
A-Syarb³ni, Syams al-D³n Muhammad bin Muhammad al-Kha¯³b.  Mugni al-Muht±j il± Ma’rifat Ma’±ni Alf±§ al-Minh±j.  Beirut: D±r   al-Fikr, 1978.
Al-Sya¯³bi, Ab­ Ishaq Ibrahim bin Musa. Al-Muw±faq±t  f³  U¡­l   al-Syar³‘ah. Mesir: al-Maktabat al-Tij±riyat al-Kubr±, t.th.
A-Turmu©i, Ab­ ‘´s± Muhammad  bin  ‘´s±  bin  Saurah.  Sunan al-Turmu©i (al-J±mi‘ al-¢a¥³¥). Indonesia: Maktabat Dahlan, t.th.
Al-°aba¯ab±‘i, Muhammad Husayn. Al-Miz±n f³ al-Tafs³r al-Qur’±n. Beirut: Mu’assasat al-A‘lami li al-Matb­‘ah, 1411 H./1991 M.      
Watt, W. Wontgomery. Muhammad the Prophet and The Statesman. London: Oxport University Press, 1969.
Yafie, K.H. Ali. Takdir dan Teknologi. Jakarta: Yayasan Berkat Rahmat Allah, 2001.
Al-Zarq±ni, ‘Abd al-‘A§³m.  Man±hil  al-‘Irf±n f³ ‘Ul­m al-Qur’±n.  Mesir: D±r Ihy±' al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.
Al-Zuhayli, Wahbah. Al-Fiqh  al-Isl±miy wa Adillatuh.  Beirut: D±r   al-Fikr, 1404 H./1984 M.
CURRICULUM VITAE

A. Identitas Pribadi

     1.  N a m a                  : Prof.Dr. H.Muhammadiyah Amin, M.Ag.
     2.  NIP                         :       196308141990031007
     3. Nomor Karpeg        :       E.878316
     4. Tempat/Tgl. Lahir     :    Kuala Enok-Inhil-Riau/14 Agustus 1963
     5. Pangkat, Gol/Ruang:      Pembina Utama Madya (IV/d)
  6. Jabatan Fungsional  :     Guru Besar Tetap Fakultas Syariah, 
                                        Hukum dan Ekonomi UIN Alauddin
                                        Makassar
     7. Jabatan                   :       Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo
B. Keluarga
     1. Nama Ayah            :    H. M. Amin Said (w. 10 Juli 1999)
     2. Nama Ibu                :       Hj. St. Ramlah (w. 01 Maret 2008)
     3. Nama Istri               :       Dra. Muliati (25 Mei 1964)
          4. Nama Anak            :      -            Mahmudah Mulia Muhammad
                                                     (08 April 1990)
                                               -    Mustainah Mulia Muhammad
                                                    (30 September 1994)
                                               -    A. M. Agil Mulia Muhammad
                                                    (15 Agustus 1998)
                                               -    A. M. Azra Mulia Muhammad
                                                    (11 Agustus 2000)

C. Riwayat Pendidikan

     1.  SDN (Pagi) dan MI DDI (Siang) Pulau Kecil, 1975
     2.  MTs  DDI Pulau Kijang, 1979
     3.  MTsN Makassar, 1980
     4.  MA MDIA Pusat Makassar, 1982
     5.  MAN Makassar, 1983
     6.  Fakultas Dakwah Universitas Al-Ghazali Makassar (kini, Universitas Islam Makassar), 1982-1986 (tidak lanjut)
  7.                                 Sarjana Muda, Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, 1986
     8.  Sarjana Lengkap, Fakultas Syariah IAIN Alauddin Maksssar, 1988 
  9. Program Magister (S2), Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, 1996
  10.  Program Doktor (S3), Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003
  11.  Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) XVI Lemhannas RI, 2009.
D. Penataran dan Workshop
    1.  Penataran Dosen Bahasa Arab dan Ilmu-ilmu Islam, kerjasama Universitas Islam Madinah dengan Universitas Muslim Indonesia, 1990
     2.  Penataran Metodologi Penelitian bagi Tenaga Edukasi IAIN Alauddin Makassar, 1994
     3.  Workshop Tesis/Disertasi Program Pascasarjana IAIN se-Indonesia, 1999
     4.  Workshop on Course Design for Higher Education, kerjasama IAIN Jakarta dengan McGill Canada, 2000

     5.  Workshop on Educational Statistic for Higher Education, kerjasama IAIN Jakarta dengan McGill Canada, 2000

     6.  Workshop on Higher Education Management and Leadership, University of Melbourne Australia, 10-18 November 2007.

E.   Pengalaman Kerja

     1.  Asisten Dosen pada Lembaga Bahasa Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, 1987-1990
     2.  Asisten Dosen (matakuliah Hadis) pada Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, 1990-1992
     3.  Dosen Tetap Fakultas Syariah, Hukum, dan Ekonomi UIN Alauddin Makassar, 1993- sekarang
     4.  Dosen Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2007-sekarang
     5.  Dosen Tidak Tetap:
          a.  Fakultas Adab, Dakwah, Tarbiyah, dan Ushuluddin IAIN Alauddin Makassar, 1993-1996 (Asistensi dari Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Drs. H. M. Amir Said)
          b.  Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Sinjai, 1993-1996
          c.  Fakultas Agama Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar, 1993-1996 (Asistensi dari Prof. Dr. Hj. Andi Rasdiyanah dan Prof. Dr.   H. M. Syuhudi Ismail [w. 19 Nopember 1995]) 
          d.  Fakultas Agama Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar, 1994-1996 (Asistensi dari Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim)
          e.  Pendidikan Kader Ulama, Majelis Ulama Indonesia (PKU-MUI) Sulawesi   Selatan, 1996-2006
     6.  Dosen Program Magister (S2) Pascasarjana Universitas Muhammadiyah (UNISMUH) Makassar, 2003-2006
     7.  Dosen Program Magister (S2) dan Doktor (S3) Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2003-sekarang
     8.  Asisten Direktur II Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, 2003-2007
     9.  Rektor IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2006-sekarang
  10.  Sekretaris II Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) PPSA XVI Lemhannas RI, 2009-2014
  11.  Sekretaris Umum Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (FP-PTAIN) se-Indonesia, 2010-2012.  

F.     Karya Tulis

    Risalah, Skripsi, Tesis, Buku, dan Disertasi

     1.    Pengaruh Rotasi dan Revolusi Bumi Terhadap Penentuan Waktu Shalat (Risalah), 1986                             
     2.    Sayyid Muhammad Rasyid Ridha (Prinsip-prinsip dan Corak Tafsirnya) (Skripsi), 1988
     3.    Laylat al-Qadr (Telaah Hadis-hadis Terkait Berdasarkan Kritik Hadis) (Tesis), 1996
     4.    Anggota Tim Penyusun buku Ulumul Hadis I-IX: Buku Pegangan Dosen, Jakarta: Ditbinperta Islam-Departemen Agama RI., 1993
     5.    Editor dalam buku Jalan Lurus Menuju Hati Sejahtera (Tafsir Surat al-Fatihah) (Karangan Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim), Jakarta: Yayasan Kalimah, 1999
     6.    Hadis Ahkam I (Matan dan Terjemahannya), Makassar: Berkah Utami, 2001
     7.    Editor dalam buku KH. Ali Yafie, Jati Diri Tempaan Fiqih, Jakarta: FKMPASS, 2001
     8.    Editor dalam buku Etika Konservasi Fauna dalam Islam, Jakarta: FKMPASS-YAPMA, 2003
     9.    Menembus Lailatul Qadr: Perdebatan Interpretasi Hadis Tekstual dan Kontekstual, Makassar: Melania Press, 2003
  10.     Purposive Exegesis: A Study of Quraish Shihabs Thematic Interpretation of the Quran dalam Approaches to the Quran in Contemporary Indonesia, New York: Oxford University Press, 2005
  11.     55 judul entri dalam Ensiklopedia Al-Quran: Kajian Kosakata, Jakarta: Lentera Hati-PSQ-Yayasan Peguyuban Ikhlas, 2007
  12.     Itikaf dalam Perspektif Hadis Nabi, Yogyakarta: Grha Guru, 2007
  13   Al-Hadis: Aqidah, Akhlak, Sosial, dan Hukum, Gorontalo: Sultan Amai Press IAIN Sultan Amai, 2008
  14.     Ilmu Hadis, Yogyakarta: Grha Guru, 2008
  15.     Moral dan Etika Kepemimpinan Nasional: Kajian Strategi dalam Mewujudkan Good Governance, Gorontalo: IAIN Sultan Amai Press, 2009. 

    Karya Publikasi dalam Majalah dan Jurnal

     1.    Peranan Orang Tua dalam Pembentukan Kepribadian Anak, dalam Majalah Anda, 1987
     2.    Akal dan Wahyu dalam Al-Quran: Analisis Tentang Petunjuknya bagi Manusia, dalam Warta Alauddin, 1994 (Non-akreditasi)
  3.    Hukum/Tertib Sosial dalam Al-Quran, dalam Jurnal Syariah, Nopember 1996 (Non-akreditasi)
  4.    Mencegat Malam Bonus, dalam Panji Masyarakat, 19 Januari 1998
     5.    Tak ada lagi Lailatul-Qadar?, dalam Gatra, 24 Januari 1998
     6.    Kedudukan Anak di Luar Nikah: Analisis Perbandingan Menurut KUH Perdata, Hukum Islam dan KHI, dalam Jurnal Mimbar Hukum , Mei-April 1999 (Terakreditasi DIKTI)
     7.    Filsafat Hukum dan Ushul Fiqh: Analisis Perbandingan, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Juli-Agustus 2001 (Terakreditasi DIKTI)
     8.    Menelusuri Kaitan Islam dan Sastra Melayu Klasik di Nusantara, dalam Jurnal al-Hikmah, Vol. 3 No. 1/2002 (Non-akreditasi)
     9.    Hukum dan Kewenangan Membuat Hukum dalam Perspektif Al-Quran, dalam Jurnal Mimbar Hukum , Maret-April 2002 (Terakreditasi DIKTI)
     10.  Ide Pembaharuan Fazlur Rahman Seputar Sunnah, dalam Jurnal Madania, Vol. 4 No. 2, Desember 2002 (Terakreditasi DIKTI)
     11.  Pemikiran Politik Islam: Telaah atas Pembaruan Fazlur Rahman, dalam  Jurnal Khazanah, Vol. II No. 01 Januari-Pebruari 2003 (Terakreditasi DIKTI)
     12.  Tuhan dan Kejadian dalam Orientasi Filsafat Plotinos: Telaah atas Pengaruhnya Terhadap Filosof Muslim, dalam Jurnal Zaitun, Vol. 1 No. II, Maret 2003 (Non-akreditasi)
     13.  Metode Penyelesaian Hadis-hadis yang Tampak Bertentangan: Kajian atas Pemikiran al-Syafii, dalam Jurnal Lektur, 2003 (Terakreditasi DIKTI)
     14.  Dengan Isra Miraj Kita Perkuat Persatuan dan Kesatuan Bangsa, Ceramah Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW Tingkat Kenegaraan, Masjid Istiqlal, Jakarta. 

    Hasil Penelitian

     1.    Persepsi Masyarakat Nelayan Muslim Kotamadya Ujunpandang Terhadap Lingkungan Pemukiman Sehat. Balai Penelitian IAIN Alauddin Makassar, 1993/1994
     2.    Tema-Tema Dakwah dan Kaitannya dengan Masalah-masalah Pembangunan di Sulawesi Selatan. Balai Penelitian IAIN Alauddin Makassar, 1994/1995
     3.    Hubungan Sosial dan atau Ekonomi antar Warga Masyarakat (Tinjauan Tentang Pengaruh Pondokan Mahasiswa di Mannuruki Kelurahan Mangasa). Mandiri, 1994
     4.    Konsep Hadis Nabi tentang Sadaqah: Telaah Berdasarkan Kritik Sanad. Mandiri, 1996
     5.    Takwa dan Indikatornya dalam Al-Quran. Balai Penelitian IAIN Alauddin Makassar, 1996/1997
     6.    Hubungan Ketaatan Beragama dan Disiplin Kerja Pegawai pada Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Sulawesi Selatan. Pusat Penelitian IAIN Alauddin Makassar, 1997/1998
     7.    Malu dalam Perspektif Hadis Nabi:  Kajian Hadis Tematik. Mandiri, 2001
     8.    Mekanisme Jual-Beli Menurut Petunjuk Nabi SAW. Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Jakarta, 2002
     9.    Petunjuk Hadis Nabi tentang Tahiyyatul Masjid dan Implementasinya Menurut Imam Mazhab Fiqh. Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan (LK3) Jakarta, 2003
     10.  Studi Kritis Hadis-hadis dalam Wawasan Al-Quran Karya M. Quraish Shihab. Pusat Penelitian IAIN Alauddin Makassar, 2003
     11.  Simplikasisasi Perkawinan (Kajian tentang Praktik Nikah Siri di Gorontalo dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif). Lemlit IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2007
     12.  Islam dan Pendidikan Pluralisme Melalui Desain Kurikulum Berbasis Kemajemukan. Lemlit IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2007
     13.  Menyingkap Pandangan Ali Shariati Tentang Humanisme Agama. Lemlit IAIN Sultan Amai Gorontalo, 2008
     14.  Hubungan Pengetahuan dan Persepsi Masyarakat terhadap Kelembagaan Zakat di Kabupaten Pohuwato. Pemda Kabupaten Pohuwato, 2009.

G. Pengalaman Seminar, Ceramah
    dan Kunjungan Luar Negeri

1.        Pelaksana Annual Conference on Islamic Studies, Makassar, 25-27 November 2005

2.        Pengarah Musyawarah Kerja (MUKER) Ulama Al-Qur’an Regional se-Sulawesi dan Kalimantan, Gorontalo, 21-23 Mei 2007
3.        Pembahas Utama MUKER Ulama Al-Qur’an Regional se-Kalimantan dan Sulawesi, Banjarmasin, 21-23 Mei 2008
4.        Pembahas Utama Musyawarah Kerja Nasional (MUKERNAS) Ulama Al-Qur’an, Bogor, 23-25 Maret 2009
5.        Ketua Dewan Hakim Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Provinsi Gorontalo, Kwandang, 13-21 April 2010
6.        Penceramah pada Peringatan Isra Miraj Nabi Muhammad SAW Tingkat Kenegaraan, Masjid Istiqlal, Jakarta, 21 Juli 2009

7.        Tim Pembiming Haji Indonesia (TPHI) di Arab Saudi, 2003

8.        Australia (2007), Sabah-Malaysia (2008), Brunei Darussalam (2008), Prancis (2009), Maroko (2009), New Delhi-India (2009).

     

H. Prestasi dan Tanda Jasa/Penghargaan

     1.    Alumni Terbaik Fakultas Syariah IAIN Alauddin Makassar, 1988
     2.    Pemenang Penulisan Sinopsis Tesis Magister se-Indonesia, Beasiswa Penerbit Mizan, 1995/1996
     3.    Alumni Terbaik (Cumlaude) Program Magister (S2) Pascasarjana IAIN Alauddin Makassar, 1996
     4.    Awards Karya Ilmiah Dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Departemen Agama RI., 2004
     5.    Awards Karya Ilmiah Internasional Dosen Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Departemen Agama RI., 2007
     6.    Satya Lencana Karyasatya dari Presiden Republik Indonesia, 2004.

I.  Bimbingan Tesis Magister (S2) dan

     Disertasi Doktor (S3)

      1.  Tesis Magister (S2)
No
Nama/NIM
Konsentrasi
Judul Tesis
1.
Muhammad Said
P0100203022
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Pokok-pokok Keiman-an dalam Wawasan Al-Quran Karya M. Quraish Shihab
2.
Sulaeman L.
P0100203028
Tafsir Hadis
Menggagas Kepemim-pinan Perempuan Perspektif Hadis Nabi
3.
Masud Genang Mas
P0100203024
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Roh (Sebuah Tinjauan Kritik Hadis dan Kandungannya)
4.
Yahya L.
P0100203029
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Larangan Meminta Jabatan (Studi Kritik dan Pemaknaannya Hadis Berdasarkan Pemahaman Hermeneutik)
5.
Alamsyah Saban Miru
P0100203019
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Poligami (Analisis Kualitas Sanad dan Penerapannya dalam Kompilasi Hukum Islam)
6.
Umar Attamimy
P0100203150
Syariah Hukum Islam
Kedudukan Lembaga Maaf dalam Kaitannya dengan Tindak Pidana Pembunuhan dalam Hukum Islam
7.
St. Musyahidah
P0100203087
Tafsir Hadis
Keluarga Sakinah dalam Al-Quran
8.
Jajang Sobari
P0100203010
Tafsir Hadis
Fadhilah Al-Fatihah: Studi Kritis Hadis dalam Tafsir Ilmu Kasir
9.
Nasrullah Mansyur
P0100203006
Tafsir Hadis
Metode Memahami Hadis Nabi (Studi atas Pemikiran Yusuf Qardhawi)
10.
Muh. Rahanjantel
P0100203089
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Wahyu dalam Kitab Ushul al- Hamzah
11.
Sapruddin
P0100203078
Syariah Hukum Islam
Wasiat Wajibah Fiqh dan Kompilasi Hukum Islam (Suatu Analisis Komparasif)
12.
Nurnaidiyah
P0100203020
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Perempuan dalam Shalat Berjamaah
13.
Husen Maswara
P0100203051
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Tentang Riba (Kritik Sanad dan Kandungannya)
14.
Syafri Rasyidin
P0100203053
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Sihir pada Kitab Mutabar
15.
Gunawan Thahir
P0100203053
Tafsir Hadis
Pemikiran Al-Bany di Bidang Hadis
16.
M. Shaleh Umarellah
P0100203049
Tafsir Hadis
Interpretasi Kontesktual dalam Memahami Hadis-Hadis Tentang Jilatan Anjing
17.
Abdullah Nur
P0100203073
Tafsir Hadis
Hadis-Hadis Penciptaan Adam dalam Tafsir Al-Durr  Al-Mansur Karya Jalal Al-Din  Al-Suyutiy
18.
Arfan A. Tilome
P0100203097
Syariah Hukum Islam
Pengaruh Syariat Islam terhadap Adab Daerah Gorontalo
19.
Rizam Adam
P01002030103
Tafsir Hadis
Motivasi Pelaksanaan Ibadah Haji pada Masyarakat Islam Kota Gorontalo
20.
Sehat Kabalmay
P0100203046
Syariah Hukum Islam
Peranan Perempuan Terhadap Sosial Keagamaan di Kota Tual Kec. Kei Kecil
21.
Bambang Sugianto
P0100203054
Pendidikan Keguruan
Peranan Ibu-ibu Majelis Talim (Suatu Tinjauan pada Peran Domestik dan Publik di Kota Kendari)

22.
Risal Darwis
P0100203025
Syariah Hukum Islam
Hak Nafkah Istri dalam Perkawinan (Telaah Hukum Islam)
23.
Andi Intang Dulung
P0100203061
Syariah Hukum Islam
Implementasi Undang-Undang No. 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat di Kab. Kolaka
24.
Fuad Laeli Ibrahim
P0100203154
Tafsir Hadis
Keajaiban Ruqyah Al-Quran (Tinjauan Teoritis Ruqyah Menurut Petunjuk Nabi Saw)
25.
Soraya Attamimy
P0100203165
Tafsir hadis
Konsep Kemaksuman Nabi Muhammad Saw (Kajian Tafsir Tematik dengan Pendekatan Teologis)
26.
Djumadi
P0100203146
Tafsir Hadis
Batasan Riba dalam Pandangan Ulama Kontemporer (Analisis Perbandingan Ulama Sunni dan Syiah tentang Bank)
27.
Mokh. Ulil Hidayat
P0100203095
Pendidikan Islam
Pemikiran Politik Islam Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
28.
Jahada
P0100203057
Pendidikan Islam
Efektivitas Pengkaderan bagi Terciptanya Insan Cita HMI Cabang Kendari
29.
Tati Hafid
P0100203161
Tafsir Hadis
Persepsi Nasabah terhadap Eksistensi Baitul Mal wal Tamwil (BMT) sebagai Lembaga Pemberdayaan Ekonomi Umat di Kota Ambon
30.
Hasyim M. Wantu
P0100203111
Tafsir
Implementasi Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (Studi Kasus pada Madrasah Ibtidaiyah Unggulan Kota Gorontalo
31.
Ahmad B. Taufik
P0100203101
Tafsir
Animo Masyarakat Gorontalo Menabung di Bank Muamalah
32.
Sukrin Nurkamidin
P0100203117
Syariah Hukum Islam
Konsep Maslahah Mursalah pada Penerapan Hukum Islam
33.
Aisma Maulasa
P0100203117
Tafsir Hadis
Metodologi Kritik Hadis Feminisme terhadap Hadis Misogini
34.
St. Subaedah
P0100203138
Syariah Hukum Islam
Kafaah dalam Hukum Perkawinan Islam
35.
Muh. Aydi Syam
P0100203005
Syariah Hukum Islam
Komparasi terhadap Pemikiran Musda Mulya dalam Islam Menggugat Poligami Ditinjau  dari Perspektif Maqasid al-Syariah
36.
St. Nurwaisyah
P0100203018
Pendidikan Islam
Wakaf Hubungannya dengan Pertumbuhan dan Perkembangan Pondok Pesantren Asadiyah Sengkang


     2.  Program Doktor  (S3)

No
Nama/NIM
Konsentrasi
Judul Disertasi
1.       
La Ode Ismail
P01003030
Tafsir Hadis
Epistemologi Validitas Hadis dalam Perspektif Syiah-Sunni
2.       
Moh. Faishol Hasanuddin
P0100304037
Syariah Hukum Islam
Hakikat Penegakan Hukum dalam Peradilan Agama (Studi Putusan Pembatalan Nikah pada Pengadilan Agama Ambon)
3.       
Andi Tamaruddin
P80100305009
Syariah Hukum Islam
Penunaian Zakat Mal di Sulawesi Barat (Tinjauan Yuridis)
4.       
Najamuddin Mara Hamid
P0100304040
Tafsir Hadis
Koalisi Politik dalam Perspektif Sunnah
5.       
Hadi Mutamam
P0100304067
Tafsir Hadis
Konsep Maqam dalam Tafsir Mafatih Al-Ghaib (Tafsir Sufi)
6.       
Ruslan
P0100304096
Tafsir Hadis
Konsep Spritualitas Ibn Arabi dalam Tafsir Ibn Arabi
7.       
Rosmaniah Hamid
P0100304045

Tafsir Hadis
Implementasi Hadis-hadis dalam Konsep Keluarga Sakinah Aisyiyah (Studi Pem-binaan Aspek Agama dalam Keluarga pada Warga Aisyiyah di Kota Makassar)
8.       
Abd. Rahman Qayyum
P0100303019
Tafsir Hadis
Hadis-hadis Motivasi Haji dan Pengaruhnya terhadap Jamaah Haji Kota Makassar
9.       
Muhaemin
P0100303012
Pendidikan Keguruan
Hak Perlindungan Anak dalam Perspektif Pendidikan Islam dan Implementasinya pada Panti Asuhan di Kota Makassar
10.  
Abd. Rahim
P0100303031
Syariah Hukum Islam
Pengaruh Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dalam Mening-katkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah di Kota Makassar (Studi Kasus pada BPR Syariah Niaga Madani Makassar)
11.  
Abd. Rasyid Gandom
P0100304044
Syariah
Hukum Islam
Hukum Islam di Indonesia (Studi atas Pelaksanaan Hukum Islam di Indonesia 1970-2006)
12.  
M. Arif
P0100304046
Tafsir Hadis
Etika Ekonomi dalam Perspektif Al-Quran dan Aktualisasinya pada Masyarakat Muslim Kota Makassar
13.  
Muchlis Nadjmuddin
P0100304063
Tafsir Hadis
Umat dalam Wawasan Al-Qur’an (Kajian Sosiologis Historis)
14.  
Mansur Basyir
80100307089
Pemikiran Islam
Formalisasi Syariah Islam (Suatu Kajian Sosio-Politik terhadap Kebijakan Pemerintah Daerah Gorontalo)
15.  
Tonang Malongi
80100307097
Pemikiran Islam
Respons Himpunan Mahasiswa Islam terhadap Pergumulan Politik di Indonesia Pasca Reformasi
16.  
Salim Aldjufri
80100307094
Pemikiran Islam
Wahdah Islamiyah  (Studi tentang Corak Pemikiran dan Respons Masyarakat Gorontalo)













[1]Muhammad bin Ali bin Muhammad al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul (Surabaya: Salim bin Sa‘ad bin Nabhan wa Akhuhu Ahmad, t.th.), h. 33.
[2]Mushafa al-Siba‘i, al-Sunnah wa Makanatuh± fi al-Tasyri‘ al-Isl±mi (T.tp.: Dar al-Qaumiyah li al-Tibaah wa al-Nasyr, 1949), h. 343-346; ‘Abbas Mutawali Hamadah, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Makanatuh± fi al-Tasyri‘ (Kairo: Dar al-Qaumiyah, 1965), h. 143; Muhammad bin Muhammad bin Abu Syuhbah, Ilam al-Muhaddisin (Mesir: Dar al-Kitab al-Arabi, 1962), h. 9.
[3]‘Abd al-Wahab Khall±f, Ilm Usul al-Fiqh (Mesir: al-Dakwah al-Islamiyah Syabab al-Azhar, 1968),h. 43.
[4]Mahmud Syaltut, al-Isl±m ‘Aqidah wa Syari‘ah (Kairo: Dar al-Qalam, 1966), h. 512.
[5]Muhammad Abu Zahrah, Usul al-Fiqh (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1985), h. 90.
[6]Q.S. al-Fath (48): 29.
[7]Q.S. al-Kahfi (18): 110.
[8]Fungsi Nabi sebagai Rasulullah dan kepala negara, telah diuraikan oleh banyak penulis, di antaranya W. Wontgomery Watt, Muhammad The Prophet and The Statesman (London: Oxford University Press, 1969).
[9]Dalam otoritasnya sebagai hakim, berbagai karya telah ditulis untuk menjelaskan peran Nabi dalam kapasitas itu. Lihat misalnya, Philip K. Hitty, History of The Arabs (London: The Macmillan Press Ltd., 1974), h. 139.
[10]M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Maani al-Hadis tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 4.
[11]Lihat Mahmud Syaltut, op. cit., h. 510.
[12]Ibid., h. 513.
[13]Badran Abu al-‘Ainain Badran, Usul al-Fiqh al-Islami (Iskandariyat: Syabab al-Jamiah, t.th.), h. 41.  
[14]Mahmud Syaltut, loc. cit.  
[15]Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy‘as al-Sijistani, Sunan Abi Dawud, Juz II (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 758.  
[16]Mahmud Syaltut, op. cit., h. 515.
[17]Abu Daud, op. cit., Juz II, h. 873.
[18]Dalam menanggapi hadis tersebut, terjadi perbedaan yuristik di kalangan ulama.  Jumhur mengambil pendapat yang pertama, Abu Hanifah mengambil pendapat yang kedua, sedangkan Hanbali berpendapat tetap perlu meminta izin, apabila lahan itu diduga telah dikuasai oleh orang lain. Lihat ibid.
[19]‘Abd al-Wahab Khallaf, op. cit., h. 44; ‘Aly Hasballah, Usul al-Tasyri al-Isl±mi (Mesir: Dar al-Maarif, 1976), h. 52.
[20]Mahmud Syaltut, op. cit., h. 514.
[21]Mahmud Syaltut, op. cit., h. 515.
[22]Syams al-Din Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbini, al-Mughni al-Muhtaj ila Ma‘rifat Ma‘ani Alfaz al-Minhaj, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1978), h. 442.
[23]Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, al-Mustasyfa min ‘Ilm al-Ushul, naskah diteliti dan diberi notasi oleh Muhammad Mustafa Abu al-Ila, Juz II (Mesir: al-Maktabah al-Jadidah, 1971), h. 51.
[24]M. Syuhudi Ismail, op. cit., h. 49-69.
[25]Lihat Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakar al-Suyuti, Asbab Wurud al-Hadis aw al-Lam fi Asbab al-Hadis (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1984), h. 59.
[26]Abu Abd Allah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, al-Jami al-Sahih, Juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 157 dan 158; Abu Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairy, al-Jami al-Sahih, Juz II (t.tp.: Isa al-Baby al-Halabi wa Syurakah, 1955), h. 579-580; Abu Abd Allah Ahmad Ibn Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Jilid I (Beirut: al-Maktab al-Islami, 1978), h. 15 dan 42.  
[27]Lihat hadisnya dalam Sa¥i¥ al-Bukhari, op. cit., Juz III, h. 326; Sahih Muslim, op. cit., Juz III, h. 1596; Abu Isa Muhammad bin Isa al-Turmuzi, Sunan al-Turmuzi, Juz III (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 170-171; dan Musnad Ahmad bin Hanbal, op. cit., Jilid III, h. 363.
[28]Ahmad ibn Hanbal, op. cit., Juz III, h. 129 dan 183; dan Juz IV, h. 422.
[29]Menurut Ibn Khaldun, hak kepemimpinan yang dimaksud dalam hadis itu bukan pada etnis Quraisynya, melainkan pada kemampuan dan kewibawaan seperti yang dimiliki suku Quraisy pada masa Nabi. Oleh sebab itu, menurut Khaldun, jika ada yang memiliki kemampuan dan kewibawaan dalam memimpin seperti halnya yang dimiliki suku Quraisy, maka orang itu dikategorikan suku Quraisy, dan karenanya boleh dijadikan pemimpin, termasuk sebagai kepala negara. Lihat ‘Abd al-Rahman bin Muhammad ibn Khaldun, Muqaddimah ibn Khaldun (t.tp.: Dar al-Fikr, t.th.).
[30]Muhammad al-Khudari Bik, Tarikh al-Tasyri‘ al-Islami  (Beirut: Dar al-Fikr, 1967), h. 182.
[31]‘Abd al-‘Azim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran (Mesir: Isa al-Babiy al-Halabiy, t.th), h. 262.
[32]Komaruddin Hidayat, Memahami Bahasa Agama (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 1-2.
[33]Untuk selalu diingat bahwa ada empat upaya dalam proses memahami teks, khususnya teks keagamaan yang dijadikan acuan keimanan dan perilaku keagamaan. Pertama, apakah diri kita cukup memiliki persyaratan untuk menangkap gagasan dari luar? Kedua, cukupkah data yang kita miliki berkaitan dengan kualitas pribadi dan intelektual serta kondisi sosial kultural saat teks tersebut dilahirkan? Ketiga, rentang waktu yang panjang antara pembaca dan pengarang menimbulkan pertanyaan, bagaimana menghubungkan antara teks dan pengarangnya? Dan keempat, apa kriteria untuk dapat memahami teks secara tepat dan benar?
[34]Lihat Q.S. al-Kahfi (18): 110.